-->
  • PART 3 KEJUJURAN YANG TAK DI HARGAI

     Part 3.

    “KEJUJURAN” YANG TAK DIHARGAI"

                                                                   DOC,28 September 2017

        Setelah 1 minggu pacsa kelulusan kuliah perasaan untuk mengungkapkan kejujuran ini sangat ingin saya utarakan, seperti melihat dengan jelas sebuah kesuksesan dengan apa yang akan saya lakukan, jelas kondisi diri sangat percaya diri dan sangat yakin atas jalan hidup yang saya pilih. Namun keyakinan kepada orang tua bahwa bisa memahami dan menerima saya ingin bermusik tidak sekuat keyakinan saya memilih bermusik sebagai jalan hidup. Mengungkapkan apa adanya jelas ingin sekali saya ungkapkan, tetapi kondisi yang ada tidak memungkinkan untuk saya ungkapkan seutuhnya. Karena bermusik bagi pandangan orang tua maupun orang terdekat merupakan sesuatu yang berbeda dengan biasanya, dimana tidak bisa melihat dari sisi lain selain meremehkan, apa lagi saya jadikan sebagai jalan hidup. 

        Disatu sisi ingin sekali jujur terhadap orang tua dengan hal apapun termasuk hal-hal yang akan saya lakukan, tetapi disatu sisi lain saya harus sadar bahwa orang tua saya bukan tipe orang tua yang open minded. Kompromipun pada diri sendiri membuat saya berpikir untuk mengungkapkan kejujuran ini dalam kemasan lain yaitu menulis buku. Saya menganggap antara bermusik maupun menulis buku adalah hal yang akan saya lakukan, maka isi dan inti dari kejujuran yang saya ungkapkan adalah hal yang sama yaitu passion diri. Mengungkapkan apa yang saya rasakan terhadap orang tua bahwa saya ingin menulis buku ternyata membuat orang tua saya tidak begitu senang mendengarnya, dilihat dari respon Abah yang menunjukan ekspresi kaget. 

        Suasana sore hari dimana saya duduk dengan bapak dan Ibu yang sambil melakukan aktivitas didapur masih sangat menempel dipikiran apalagi rasa pada waktu itu. Menanti waktu yang tepat untuk membicarakan apa yang akan saya lakukan setelah kelulusan akhirnya mendapati waktu pada sore itu dengan menyambung obrolan sebelumnhya, langsung dengan pelan saya mengungkapkan :

        “Bah...(panggilan saya pada Bapak), saya ingin melakukan apa yang hati ini mengatakan, dalam masa tugas akhir saya menemukan bah, menemukan apa yang saya ingin lakukan setelah kelulusan ini yaitu saya ingin menulis buku bah, saya juga tidak memrprediksi sampai saya menjadi seperti ini cuman apa yang saya mau itu yang saya rasakan, saya ingin mencoba bah.” Ungkap saya. 

        Mendengar saya mengatakan hal tersebut raut wajah bingun terlihat pada Abah yang seakan kaget seperti mendapatkan sesuatu yang buruk.

        “Menuliskan memakan waktu lama, pertama kamu ngarang, kemudian nanti diseleksi dulu disana, itu memakan waktu lama, ya terkadang memang dapat komisi kalau pas dipakai, kan kya gitu.” Jawab Abah dengan nada sedikit meninggi. 

        Mendengar tanggapan awal seperti itu dalam hati saya menjadi pesimis “pasti ini tidak akan sesuai harapan.” Ucap saya dalam hati. 

        Lantas saya menahan diri untuk lebih menjelaskan yang tadinya saya menganggap bahwa ketika ingin memberi tahu tujuan, maka harus disertai latar belakang mengapa sampai memilih tujuan tersebut dan memberi tahu kondisi kesadaran diri saat memilih tujuan tersebut dengan mengungkapkan di awal, namun karena mendengar tanggapan awal seperti itu maka saya coba membiarkan orang tua berpendapat terlebih dahulu dengan bertanya langsung pada intinya.

     “Berarti melamar pekerjaan saja?.” Tanya saya.

        Dengan nada tinggi Abah menjawab “ya terserah kamu!, kalau mau tujuan itu ya sana silahkan mau mencoba ya sana!, cuman saya ngasih gambaran seperti itu.” 

        Walaupun nada bicara terdengar tinggi, mendengar tanggapan abah mengatakan “terserah,” “Hah.. berarti boleh dong.” Ucap saya dalam hati. 

        Mamah yang langsung ikut dalam obrolan sambil melakukan aktivitas didapur menimpali jawaban abah “Dipikir secara panjangnya dulu.” Ungkap Mamah. 

        Maksud hati ingin merespon langsung apa yang Ibu katakan, yang mana mau memberi tahu bahwa saya telah berpikir dengan sadar dan sudah matang, kembali menahan karena Abah terlebih dahulu menimpali kembali apa yang dikatakan Mamah.

     “Seumpamanya kamu ngarang buku, terus diterima, diterima disana kan diseleksi, bukan kamu doang yang ngirim, nanti nunggu..nunggu makan waktu panjang.” Ungkap Abah. 

        Dan seperti mendengarkan 2 suara dalam satu speaker, Ibu pun langsung menimpali kembali. “Terus pekerjaan sekarang ada batas umurnya kan kalau mau mendaftar, nah kalau sudah tidak diterima dimana-mana lah baru kesitu tidak apa-apa kayaknya.” Ungkap ibu. 

        Hemmm...“Kebalik itu Mah.. Mah... emangnya inspirasi tersedia di alfamart, kalau masalah umur memang saya sudah niat tidak mau melamar kerja diperusahaan.” Jawab saya hanya dalam hati. 

        Ingin sekali lagsung memberikan jawaban atas ungkapan yang Ibu katakan biar tidak lupa, namun Abah kembali menimpali. 

        “Itu mah ibarat orang mancing ikan, umpannya dimakan engga..nungguin lama,, kalau menulis mah membutuhkan waktu panjang.. coba deh kamu pikir.” Ungkap Abah.

      Dengan keadaan hening sebentar setelah ramainya mereka berbicara secara bersamaan, membuat saya mulai mengungkapkan.

         “Nah itu Bah... makanya saya mau minta waktu dalam 1 tahun kedepan, jika lebih dari 1 tahun tersebut saya tidak bisa menghasilkan (Uang) dengan apa yang akan saya lakukan ya... sudah, saya bersedia melamar pekerjaan.” Ungkap saya. 

        Lantas saya lanjut menjelaskan. “Sebenarnya saya sudah dipikir secara matang Bah... dalam memilih pilihan ini, juga saya sadar dan siap bah apapun nantinnya, saya ingin mencoba Bah... apa yang hati ini dirasa saya ingin lakukan, kalau saya sudah jelas mengerti apa yang saya ingingkan Bah dan saya sadar, makanya saya berani bilang jujur karena saya sudah dipikir sebelumnya.”

        Mendengar kejujuran yang saya ungkapkan tidak sama sekali membuat Abah dan Ibu memahami apa yang sedang saya rasakan, mereka kaget atas apa yang saya inginkan dan seolah tidak ingin saya melakukannya. Saya kecewa dengan situasi seperti ini sangat tidak ingin terjadi adanya perasaan kecewa tersebut, tetapi ini terjadi dan kejadian ini sangat ada dalam bayangan sebelumnya yang datang dipikiran saya. Bukan lagi cukup, namun sangat sulit berada dalam posisi dimana sebagai anak harus memahami orang tua dimana dalam konteks ini tidak lagi sportive (saling memahami) yang berefek pada penyempitan potensi anak. 

        Dengan nada tinggi membentak “ Berarti kalau kaya gitu mah kamu melenceng lagi!, seharusnya dulu mengambil kuliah sastra tadinya!.” Ungkap abah.

        Sampai pada tanggapan ini sebenarnya ada cerita terdahulu sebab-akibat saya sampai mau mengambil kuliah fakultas pertanian, bisa saja saya jelaskan dari awal karena saya sangat masih teringat kronologi dan rasa yang saya rasakan pada waktu itu, namun saya persingkat saja karena sepertinya tidak nyambung kalau dibahas di bab ini. Dasar dari saya mau kuliah di fakultas pertanian adalah karena ingin mematuhi keinginan orang tua yang mana anak2 nya ingin mempunyai sebuah gelar, dengan landasan hal tersebut saya menelan itu semua. 

        Walaupun memang tanggapan orang tua dari awal saya mengungkapkan kejujuran sudah tidak mengembangkan pembicaraan dengan apa yang saya ungkapkan, malah lebih ke menyalahkan dan mengungkit sebab-akibat terdahulu yang seharusnya sudah tidak perlu dibahas lagi. Karena yang sekarang dibutuhkan adalah diskusi yang membuahkan solusi bagaimana jalan keluar dalam kondisi seperti ini, dimana keputusan yang keluar berdasarkan atas kebaikan bersama yang sangat mutlak sejatinya harus ada. Bukan malah menyalahakan atas terjadinya perbedaan, karena sejatinya menerima apa adanya adalah lebih baik dari pada merubah yang tidak bisa dirubah dari sejatinya tersebut. 

        Jawab saya dengan nada pelan “Kan dulu waktu mau pendaftaran kuliah Abah diam saja, engga menanyakan bagaima atau gimana, mau kemana, karena pada waktu itu saya sangat bingung Bah... belum bisa berpikir seperti sekarang, mau kuliah apa saya gak tahu sedangkan waktu itu kan cuman disuruh mengikuti supaya seperti kakak dan Abah hanya diam tidak menannyakan minat saya dimana terus bagaimana, baiknya seperti apa.” Ungkap saya dengan nostalgia rasa pada rasa waktu itu.

         Mendengar hal tersebut Abah mengatakan ”kalau gak di fakultas pertanian kan kamu ga kuliah, kalau pas waktu itu gak menerima penerimaan berarti tidak kuliah.”

    Hemm... “iya kan alasan saya masuk kuliah pertanian karena Abah ingin anaknya mempunyai gelar, tetapi Abah tidak tanya keinginan saya pada waktu itu, sekali menanggapi obrolan saya ingin di musik malah tanggapannya tidak boleh, tapi tidak dijelaskan alasannya dan tidak ada tanggapan lain.” jawab saya.  

        Kembali saya menjelaskan “Tapi itukan cerita pada masa itu, bukan berarti saya menyesal, saya dapat banyak sekali pelajaran dalam proses kuliah, saya merasa beruntung bisa kuliah walaupun kejadian saya masuk kuliah hanya ingin nurut sama orang tua tanpa menyukai jurusan yang di ambil. Makanya kan tidak pasti bisa diprediksi suatu perubahan, yang tadinya saya tidak suka eh... ternyata banyak pelajaran yang saya dapat ambil, berartikan misteri, kan manusia hanya bisa berencana yang menentukan Tuhan Yang Maha Esa.” Ungkap saya.

        Suasan hening kembali terjadi, menunggu tanggapan dari orang tua tidak juga berbicara dalam 10 menit berlalu, dengan maksud memperjelas akhir pembicaraan ini saya kembali menanyakan inti dari kejujuran ini boleh atau tidak saya ingin menulis buku.

     “Jadi ini gimana menurut Abah dan Mamah saya boleh tidak menulis buku?” Tanya saya kepada orang tua.

    Mamah yang dari tadi juga terlibat dalam obrolan ini walaupun sambil bersih-bersih didapur, langsung menimpali “Kalau menurut Mamah mending kamu kerja dulu, nanti kalau tidak diterima dimana-mana baru menulis buku karena umur semakin bertambah sedangkan diperusahaan ada batas umurnya untuk melamar kerja.” Ungkap Mamah.

        Mendengar Mamah mengatakan hal tersebut seperti mendengar ledakan mercon leo, tetapi dengan keadaan tidak siap. Saya sama sekali tidak menginginkan Mamah mengatakan hal tersebut karena saya tidak mengharapkan, tetapi justru yang tidak terbayangkan malah terjadi.  Kedekatan saya dengan Mamah mungkin bisa dikatakan lebih, tetapi justru suara pertama dalam penolakan atas kejujuran ini juga adalah Mamah. Heemmmm.... merasa sangat butuh banyak lapisan rasa sabar, mencoba menstabilkan air mata ini untuk tidak jatuh, membuat saya terus memandang ke atas dan mempercepat kedip mata. Bagaimanapun sampai sekarang saya masih sangat teringat perasaan pada waktu itu, mencoba tetap tenang dan bertarung menolak amarah. 

        Kemudian menannyakan kepada Abah, “Abah gimana Bah?.” Tanya saya.

      Abah yang masih dengan muka kagetnya yang bisa diartikan juga muka kesal menjawab “ iya kerja dulu ajah ya bu, orang seperti itu membutuhkan waktu lama dan kamu juga baru lulus.” Jawab Abah.

    “oh.. yaudah.” Jawab saya sembari berdiri.

        Tak berhasil membendung air mata ini membuat saya pergi ke kamar setelah obrolan tersebut dan menagis lirih dipojok belakang pintu kamar dengan pintu terkunci, seperti hati saya yang sudah terkunci dengan keyakinan pilihan diri. Rencana merupakan rangka dari suatu tujuan, mendapatkan tujuan tersebut adalah misteri. Walaupun perhitungan matematika adalah hasil pasti, namun tetap saja bisa terjadi kesalahan yang tidak nalar. Seperti rencanan yang saya susun pasca kelulusan berharap semua kehidupan saya berubah, memulai dengan jalan dan tujuan baru yang terbungkus oleh harapan dengan semangat yang berapi-api, namun apa yang saya terima berbanding terbalik 99% ketika kejujuran ini mengatakan yang sebenarnya. 

        Berbicara dan menemukan jalan keluar dengan legowo satu sama lain adalah tujuan saya mengungkapkan kejujuran dari keinginan. Sampai pada mendapatkan hal yang tidak diinginkan tetap tidak merubah pilihan jalan saya. Tidak menginginkan sama sekali pengungkapan kejujuran ini menjadi suatu perdebatan karena hal tersebut bukanlah untuk didebat, melainkan bertindak dengan kesadaran posisi masing-masing atas peran masing-masing yang sejatinya memang ada batasan, namun orang tua saya tidak demikian. Menginginkan apa yang mereka pikirkan dengan tidak sadar atas batas-batas yang semestinya ada ranah yang tidak bisa dipaksakan yaitu jalan hidup. Apa yang saya pilih memang diluar perkiraan, baik dari orang tua maupun diri saya pribadi dan bagaimana melewati, mendapatkan, kemudian menyelesaikan proses tersebut juga tidak bisa diperkirakan, namun yang pasti bisa diperkirakan adalah bagaimana kesadarran diri atas kesiapan menjalani hal tersebut. Karena perkiraan adalah awal mengetahui keberhasilan, walaupun perkiraan tidak 100% tepat, tetapi perkiraan merupan sinyal. 

    Serba salah dengan posisi sebagai anak dari orang tua tipe kuno yang mana tidak bisa terbuka terhadap hal yang berbeda pada umumnya. Seperti kemauan saya ingin menulis buku dimana tidak sinkron dengan latar belakang pendidikan maupun backgroud saya yang sama sekali bukan dari keluarga dan lingkungan yang seperti bidang yang saya ingin fokuskan. Hal tersebut seperti membuat saya bekerja dua kalilipat serta menyadari atas proses yang akan dihadapi memang panjang dan tidak mudah, maka dari tiu sebenarnya saya sangat membutuhkan suport dari orang special di dunia ini yaitu orang tua, tetapi tidak saya dapatkan. 

        Dengan keadaan demikian, melakukan sesuai kata hati dianggap salah, tidak melakukan sesuai keinginan hati juga salah, mengungkapkan kejujuran menjadi salah tanggap, berbohong juga salah, itu semua karena berawal dari penolakan, penolakan atas terjadinya perbedaan dari mayoritas. Orang tua saya menginginkan mempunyai anak dengan gelar sarjana, namun mereka tidak menyadari bahwa dalam proses mendapatkan gelar sarjana anak tersebut berkembang, yang mana dalam proses waktu tersebut menemukan apa yang terbaik untuk dirinya berdasarkan kata hatinya. 

        Pada intinya orang tua saya tidak bisa menerima apa yang sebenarnya ingin saya perjuangkan, karena masih memandang lebih baik bila saya mencari pekerjaan kantoran yang mereka inginkan, tetapi tidak sadaran mereka membuat alasan saya melewati batas. Maka dari itu perlunya memahami tindakan diri berdasarkan posisi yang sedang dijalani dan makna kata baik itu sendiri, supaya tidak terjadi “baik” dalam satu pihak, melainkan baik sejatinya untuk satu sama lain. 

        Tujuan dari pengungkapan kejujuran ini adalah untuk mendapatkan restu dan doa orang tua yang didasari oleh kepercayaan yang saya yakini bahwa “Ketika melakukan sesuatu dengan orang tua mengetahui kemudian mendoakan, maka kemudahan akan berjalan bersama.” Namun setelah apa yang telah terjadi saya berserah terhadap kepercayaan tersebut kepada-Nya, dalam arti Tuhan lebih mengetahui apa isi hati saya terhadap orang tua. Kata yang paling menggabarkan diri saya pada saat itu menangis lirih dipojok belakang pintu kamar adalah TERBELAH, ya... terbelah jiwa saya yang terkekang oleh kurungan wajib.  Menutup perasaan yang tidak mau ditutup dan memang tidak bisa ditutup, maka seketika itu pun saya ucapkan dalam hati "SELAMAT DATANG PADA KEBOHONGAN (melewati batas)”.

    Lanjut Part 4 Yaww..
  • You might also like

    No comments:

    Post a Comment